Inilah 9 Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Terbaik di Indonesia

Inilah 9 Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Terbaik – Pondok pesantren tahfidz di Indonesia akhir-akhir ini mulai semakin menjamur di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang tua yang ingin agar anaknya bisa hafal al-Qur’an. Antusiasme masyarakat terhadap tahfidz al-Quran tampaknya mulai meningkat akhir-akhir ini. Hal ini juga didukung acara di televisi beberapa waktu ini yang menampilkan anak-anak kecil yang pandai melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dan bahkan sudah hafal puluhan juz.



Tentu saja, sebagai orang tua yang ingin agar anaknya menghafalkan al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidz, mereka akan mencari-cari, mana Pondok Pesantren Tahfidz yang dirasa bagus. Oleh karena itu, di sini sajadah.co akan merangkum beberapa Pondok Pesantren Tahfidz yang menurut kami terbaik karena sudah berdiri puluhan tahun dan sudah terbukti menghasilkan alumni-alumni yang mumpuni.

Tentu saja, akan banyak versi apabila kita berbicara tentang mana yang terbaik di antara begitu banyaknya Pondok Pesantren Tahfidz di Indonesia. Oleh karena itu, di sini kami hanya akan menggunakan beberapa tolak ukur. Pertama, lama berdirinya pondok pesantren tersebut. Kedua, banyaknya santri. Ketiga, banyaknya alumni yang sudah tersebar dan bahkan menjadi “kyai” sudah mendirikan Pondok Pesantren Tahfidz sendiri. 

Sebenarnya, dari poin pertama dan kedua, otomatis poin ketiga juga akan mengikuti karena jika jumlah santri dikalikan lama tahun berdirinya, maka otomatis alumninya pun akan semakin banyak. Keempat, dari sanad keilmuan serta pengasuhnya. Poin keempat ini kami rasa cukup signifikan karena menghafal al-Qur’an, sebenarnya tidak asal sembarang menghafal saja. Harus mempunyai guru yang mempunyai sanad keilmuan yang sambung hingga Rosululloh SAW. Sebab, bacaan al-Qur’an pun sebenarnya tidak hanya satu macam saja. 

Oleh karena itu, kita mengenal istilah Qiro’ah Sab’ah, tujuh bacaan al-Qur’an yang memang diakui oleh Nabi dan di kemudian hari dikembangkan oleh para Imam Qurro’ (Ahli Al-Qur’an). Misalkan saja, kita mungkin pernah mendengar bacaan majreeha dari majrooha. Perbedaan bacaan ini disebabkan oleh perbedaan riwayat dari Nabi dan sama-sama sah, meskipun pada nantinya akan berakibat pada konsekuensi hukum yang berbeda dalam hal fiqih apabila ayat tersebut menyangkut soal hukum.

Berikut 9 Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Terbaik Se-Indonesia yang Sudah Teruji Kualitasnya:

1.Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta


Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an ini didirikan oleh K.H. M. Munawwir pada tahun 1909. Beliau merupakan seorang penghafal Al-Qur’an berikut bacaan qiraah sab’ah nya. Beliau adalah putra dari K.H. Abdullah Rosyad dan cucu dari Kiai Hasan Bashori (Kasan Besari). Riwayat yang beredar menyebutkan, Kiai Hasan Bashori pernah diangkat menjadi ajudan Pangeran Diponegoro pada 1825.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an ini didirikan oleh K.H. M. Munawwir pada tahun 1909. Beliau merupakan seorang penghafal Al-Qur’an berikut bacaan qiraah sab’ah nya. Beliau adalah putra dari K.H. Abdullah Rosyad dan cucu dari Kiai Hasan Bashori (Kasan Besari). Riwayat yang beredar menyebutkan, Kiai Hasan Bashori pernah diangkat menjadi ajudan Pangeran Diponegoro pada 1825.


Dalam manaqib K.H. M. Munawwir disebutkan, K.H. Hasan Bashori atau Kiai Kasan Besari, kakek dari K.H. Muhammad Munawwir adalah ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau pernah mendapat tugas dari pangeran Diponegoro untuk merebut daerah Kedu dari tangan penjajah Belanda waktu itu. Hal itu terbukti dengan surat Pangeran Diponegoro:

Surat ini dari saja Kandjeng Gusti Pangeran Diponegoro serta Pangeran Mangkoe Boemi di Djogjakarta Hadiningrat kepada semoea teman di Kedoe, menjatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta. Orang semouanja mesti tahu akan hal ini. Laki-laki, perempuan, besar, ketjil, perloe diseboetkan satoe persatoe. Adapun orang yang saja suruh namanya Kasan Besari, djikalau soedah mengikuti soerat oendangan saja ini biarlah lekas sedia sendjata, biar reboet negeri dan betoelkan agama rasoel (s.a.w – team)

Djikalau ada jang berani tiada maoe pertjaja akan boenjija soerat saja, maka dia saja potong lehernja.

Kamis tanggal 5 boelan Hadji tahoen Be (31-Djoeli-1825)

Kiai Abdullah Rosyad, ayahanda K.H. M. Munawwir memiliki keinginan kuat untuk menghapalkan Al-Qur’an. Sebagaimana dituliskan dalam manaqib K.H. M. Munawwir, beliau melakukan riyadloh dan mujahadah selama sembilan tahun untuk menghapalkan Al-Quran. Kemudian, sewaktu di Makkah mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal Quran ialah keturunannya. Untuk itu beliau selalu memberi motivasi kepada putra-putrinya untuk menghapalkan Qur’an. Ketika K.H. M. Munawwir masih kecil, beliau kerap memberi hadiah uang sebesar RP. 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat sekali mengkhatamkan membaca Qur’an.

K.H. M. Munawwir merupakan putra kedua K.H. Abdullah Rosyad dari jalur istri Nyai Khodijah. Beliau dilahirkan di Kauman, Yogyakarta. Sejak kecil, K.H. M. Munawwir sudah diarahkan untuk mengenyam pendidikan Islam. Sebagai motivasi, ayah beliau memberi hadiah uang Rp. 150,- sampai Rp. 250,- untuk mengkhatamkan bacaan al-Quran setiap seminggu sekali.

Selain belajar qiroah, K.H. M. Munawwir juga mempelajari ilmu-ilmu lain pada beberapa kiai. Pada usia 10 tahun, beliau belajar kepada Kiai Kholil di Bangkalan, Madura. Konon, suatu ketika Kiai Kholil tidak bersedia menjadi imam sholat dan justru mempercayakannya kepada K.H. M. Munawwir kecil. Beliau mengatakan, “Mestinya yang berhak menjadi imam sholat adalah anak ini, meskipun masih kecil, tetapi ahli qiroah.”[2] Di samping kepada Kiai Kholil, K.H. M. Munawwir juga belajar kepeda beberapa guru. Antara lain, K.H. Abdullah, Kanggotan, Bantul; K.H. Sholih, Darat, Semarang; K.H. Abdur Rahman, Watucongol, Muntilan, Magelang.

Pada 1888 K.H. M. Munawwir meneruskan pengembaraan ilmunya ke Makkah untuk mendalami al-Qur’an. Di Makkah, beliau belajar kepada beberapa guru yaitu, Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrohim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Sakur, dan Syaikh Musthofa. Sedangkan, guru beliau dalam qiro’ah sab’ah adalah Syaikh Yusuf Hajar.

Dalam manaqib K.H. M. Munawwir disebutkan, ketika berada di tanah suci, sebelum menghafalkan al-Qur’an, K.H. M. Munawwir pernah mengirimkan surat kepada ayahandanya untuk memohon izin. Namun, belum juga surat itu dibalas, K.H. M. Munawwir telah mengirimkan surat kedua bahwa beliau telah terlanjur hafal 30 juz Al-Qur’an. Hafalan tersebut beliau selesaikan hanya dalam kurun waktu 40-70 hari.

K.H. M. Munawwir punya metode tersendiri untuk menjaga hafalannya. Pada tiga tahun pertama, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an selama seminggu sekali. Tiga tahun berikutnya, Al-Qur’an dikhatamkan dalam tiga hari sekali. Tiga tahun selanjutnya, dikhatamkannya Al-Qur’an hanya dalam waktu sehari semalam. Menurut penuturan salah seorang santrinya, beliau pun pernah mengakhatamkan Al-Qur’an secara terus menerus selama 41 hari tanpa henti hingga mulutnya mengeluarkan darah.

Di kalangan pesantren, nama K.H. M. Munawwir terkemuka sebagai mahaguru al-Qur’an dengan qiraah sab’ah. Qira’ah sab’ah adalah tujuh variasi bacaan yang bisa digunakan kaum muslimin untuk membaca al-Qur’an yang keshahihannya disepakati ulama. Di antara beberapa hadis yang menuturkan tentang qira’ah sab’ah, salah satu riwayat bersumber dari Umar bin Khattab ketika berselisih bacaan dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca potongan ayat surah al-Furqan. Kedua bacaan tersebut kemudian dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Beliau menjelaskan, “Demikanlah Kitab ini diturunkan, sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Seiring perkembangan waktu, penafsiran mengenai “tujuh huruf” ini menjadi berkembang tidak terkendali sehingga variasi bacaan muncul sangat beragam. Sehingga, pada masa Khalifah ‘Abbassiah, tahun 322 H, diutus seorang pakar qira’at dan ilmu-ilmu Al-Qur’an untuk melakukan penertiban. Ibnu Mujahid kemudian melakukan penelitian terhadap mushaf-mushaf yang beredar, kemudian memilih tujuh varian bacaan dari beberapa Qurra ternama, yaitu Nafi (Madinah), Ibnu Kasir (Makkah), Ibnu ‘Amir (Syam), Abu ‘Amr (Bashrah), ‘Asim, Hamzah, dan Al-Kisa’i (ketiganya dari Kuffah). Tujuh bacaan inilah yang dianggap memiliki kualitas periwayatan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.


Seperti halnya yang mayoritas dipakai di seluruh dunia, K.H. M. Munawwir pun menggunakan qira’at Imam ‘Asim riwayat Hafs. Jejak qira’at ‘Asim riwayat Hafs ini dapat dicermati dari sanad al-Qur’an beliau yang sampai kepada Rasulullah SAW berikut:

Allah SWT
Malaikat Jibril
Rasulullah SAW
(1) Utsman b. Affan (2) ‘Ubay b. Kaab (3) Zaid b. Tsabit (4) Ali b. Abi Thalib
Abd Al-Rahman Al-Salma
Imam ‘Ashim
Al-Imam Hafsh
‘Ubaid b. Shabbagh
Syekh Abu Al-Abbas Al-Asynani
Abu Al-Hasan Thahir
Al-Hafidz Abu Amr Al-Dany
Al-Imam Abu Hasan b. Huzail
Ali Imam Abi Qasim Al-Syathibi
Al-Imam Abu Hasan Ali Al-Syuja’ b. Salma b. Ali b. Musa Al-Abassi Al-Mishry
Imam Abi Abdullah Muhammad b. Kholiq Al-Mishry Al-Syafi’i
Syekh Muhammad b. Jazary
Syekh Ahmad Al-Suyuthi
Syekh Zakariya Al-Anshari
Syekh Namir Al-Din Al-Thablawy
Syekh Tahayah Al-Yamani
Syekh Syaif Al-Din b. Athaillah Al-Fadholi
Syekh Sultan Al-Muzany
Syekh Aly b. Sulaiman Al-Masyhuri
Syekh Hijaziy
Syekh Mustafa b. Abd Al-Rahman Al-Azmiri
Syekh Ahmad Al-Rasyidi
Syekh Ismail
Syekh Abd Karim b. H Umar Al-Badri Al-Dimyathi
Syekh Yusuf Hajar
KH. Muhammad Munawwir

Setelah 21 tahun berada di Makkah, pada 1909 M K.H. M. Munawwir kembali ke tempat kelahirannya, Kauman, Yogyakarta (sekarang Gondomanan IV/276). Sesampainya di sana,  beliau merintis pengajian al-Qur’an di sebuah surau kecil yang dalam perkembangannya kini menjadi gedung milik Nasyatul Aisyiyah Yogyakarta. Namun, majelis pengajian tersebut tidak berumur panjang. Sempitnya lahan dan sarana yang kurang memadai membuat K.H. M. Munawwir tidak dapat mengembangkan pendidikan Islam secara memadai. Sehingga, atas saran sahabat beliau, K.H. Said Gedongan, Cirebon, K.H. M. Munawwir mencari tempat di luar kota. Alasan lainnya juga adalah agar dapat menghindar dari kewajiban ‘sebo’ (penghormatan terhadap Sultan) di Kraton.

Setelah sempat berpindah ke Gading, Yogyakarta, bersama dengan kakak kandung beliau K.H. Mudzakkir yang tak lain adalah ayahanda dari Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, K.H. M. Munawwir mulai menetap di Krapyak. Perpindahan beliau tersebut terjadi pada 1910 M setelah selesai dibangun sebuah rumah dan sebagian komplek pesantren di Krapyak. Awalnya, tanah di Krapyak dibeli dari Jopanggung (penjaga Panggung Krapyak, situs keraton yang oleh masyarakat sekitar disebut Kandang Menjangan) dengan uang amal dari H. Ali, Graksan, Cirebon atas permintaan K.H. Said.

Pada 1910 M Pondok Pesantren Krapyak mulai aktif memberikan pengajaran Al-Quran. Metode yang digunakan adalah dengan cara musyafahah. Yaitu santri membaca secara langsung di hadapan beliau, sehingga ketika terdapat kesalahan beliau langsung membetulkannya dan santri mengikutinya. Tidak jarang pula beliau meminta santri bertanya kepada yang lebih mahir untuk membenarkan bacaannya. Dalam membaca maupun menghafalkan Al-Qur’an, K.H. M. Munawwir juga sangat memperhatikan fashahah atau kefasihan. K.H. M. Munawwir membuat tingkatan dalam pembelajaran Al-Qur’an untuk santri-santrinya. Yaitu Bi al-Nadzhar, mengaji dengan membacanya secara fasih dan murattal, Bi al-Ghaib, menghafal al-Qur’an dengan fasih dan murattal, serta qira’ah sab’ah, menghafal tujuh varian bacaan al-Qur’an. Dalam mengajar, K.H. M. Munawwir seringkali dibantu oleh putra dari istri pertamanya K.H. R. Abdul Qodir.

Kepada para santrinya, K.H. M. Munawwir memberlakukan beberapa aturan dan kebijakan. Antara lain, beliau menekankan tata krama dalam majelis pengajian Al-Qur’an. Ketika menghadap untuk mengaji, santri berbaris rapi sesuai dengan urutannya masing-masing. Mereka tak lupa mengucap takbir dan berjabat tangan setiap kali selesai mengaji. Adab dalam mengaji terutama memegang al-Qur’an juga menjadi perhatian beliau. Konon, seorang santri pernah diketahui memegang Al-Qur’an dalam keadaan berhadast kemudian dijatuhi ta’zir (hukuman) dan diusir dari pondok padahal hafalannya telah mencapai hampir 24 juz. Di sisi lain, demi memberi kesempatan rehat, para santri diperkenankan menikmati suasana di luar pagar pesantren setiap setengah bulan sekali. Puncaknya, kepada para santri yang berhasil mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an, K.H. M. Munawwir memberikan ijazah. Yaitu berupa naskah yang berisikan identitas pemegang ijazah, keterangan bahwa si pemilik telah mengkhatamkan dengan cara musyafahah dengan beliau, urutan sanad, keterangan waktu dikeluarkannya ijazah dan tanda tangan beliau.

Meski terkenal sebagai Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an, pada masa kepengasuhan K.H. M. Munawwir, Pondok Pesantren Krapyak juga menyelenggarakan pengajian kitab. Pada tahun 1910 K.H. M. Munawwir mengutus salah seorang santrinya yang dianggap mumpuni untuk mengajarkan kitab Fiqh di hari Jumat. Hingga 1930-1935 pengajian kitab tersebut terus berlangsung dengan diampu oleh beberapa orang santrinya antara lain Masyhuri, K.H. Arwani Amin, Kudus, dan K.H. Abdul Hamid, adik K.H. Wahab Hasbulloh, Jombang yang mengampu pelajaran tafsir. Perkembangan pengajian kitab ini kelak semakin pesat ketika dikelola menantu beliau, K.H. Ali Maksum, pasca wafatnya K.H. M. Munawwir.

Jumlah santri terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Di awal berdirinya antara tahun 1910-1920 jumlah santri sedikitnya ada 60 orang. Pada 1920 dan seterusnya santri bertambah hingga 200 orang yang berasal tidak hanya dari Pulau Jawa, tapi juga negara tetangga, Singapura. Beberapa santri beliau yang selanjutnya sukses mengikuti jejak beliau mengembangkan pesantren, antara lain:

Kyai Arwani Amin, Kudus
Kyai Badawi, Kaliwungu
Kyai Zuhdi, Kertosono, Nganjuk
Kyai Umar, Mangkuyudan, Solo
Kyai Umar, Kempek, Cirebon
Kyai Nor/Munawwir, Tegalarum, Kertosono
Kyai Muntaha, Kalibeber, Wonosobo
Kyai Murtadlo, Buntet, Cirebon
Kyai Ma’shum, Gedongan, Cirebon
Kyai Abu Bakar, Kroya
Kyai Suhaimi, Benda, Bumiayu
Kyai Syatibi, Kyangkong, Bumiayu
Kyai Anshor, Pepedan, Bumiayu
Kyai Hasbullah, Wonokromo, Yogyakarta
Kyai Muhyiddin, Jejeran, Yogyakarta
Kyai Mahfudz, Purworejo

Ba’da Jumat tanggal 11 Jumadil Akhiroh, tepatnya tahun 1942 M, K.H. M. Munawwir wafat dan mewariskan Pondok Pesantren Krapyak yang kini sudah berumur satu abad lebih yang sudah tidak terhitung lagi jumlah alumninya.

2. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Yanbu’ul Qur’an Kudus Jawa Tengah

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Yanbu’ul Quran Kudus Jawa Tengah ini didirikan oleh KH. M. Arwani Amin, santri kesayangan K.H. M Munawwir Krapyak Yogyakarta. Bahkan, K.H. M. Munawwir pernah berpesan apabila beliau sudah wafat, maka belajarlah al-Quran kepada Kyai Arwani Amin. Tak pelak, Kyai Arwani Amin akhirnya memang menjadi ulama ahli al-Qur’an yang begitu disegani.

Awal mula berdirinya Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Yanbu’ul Qur’an sendiri dimulai ketika KH. M Arwani Amin pada tahun 1942 menerima para santri untuk belajar al-Qur’an kepadanya, baik nin nadhor maupun bil ghoib. Dulu, lokasi belajar mengajar al-Qur’an ini dilaksanakan di masjid Kanepan. Meski sempat berhenti antara tahun 1947 hingga 1957 karena kesibukan Kyai Arwani Amin menuntut ilmu thoriqoh di Popongan, Solo, akhirnya pada tahun 1957 pengajian dimulai kembali. Pada tahun 1962, pengajian dipindahkan di masjid Busyro Latif yang tidak jauh dari rumah beliau yang terletak di kelurahan Kajeksan.

Semakin lama, semakin banyak santri yang datang ke Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Kyai Arwani Amin ini. Akhirnya, untuk menampung santri-santrinya itu, pada tahun 1973, didirikanlah Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Yanbu’ul Qur’an yang berarti Mata Air al-Qur’an. Nama ini diambilkan Kyai Arwani Amin dari Surat Al-Isra’ ayat 90.

Kini, Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Yanbu’ul Qur’an tentunya sudah memiliki banyak sekali alumni yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Tidak hanya itu, Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Yanbu’ul Qur’an ini pun sudah memiliki beberapa cabang yang diantaranya dikhususkan untuk tahfidz anak-anak. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Yanbu’ul Qur’an ini hingga kini masih menjadi salah satu rujukan utama para orang tua dan santri-santri yang ingin menghafalkan al-Qur’an.

3. Pondok Pesantren Tahfidz al-Quran Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an al-Muayyad ini didirkan pada tahun 1930 M oleh tiga serangkai K.H Abdul Mannan , K.H Ahmad Shofwani serta Prof. K.H. Moh Adnan. Awalnya, sistem pembelajaran al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an al-Muayyad ini dibuat oleh K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan (Putera K.H Abdul Mannan dan salah satu santri K.H. M. Munawwir Krapyak Yogyakarta) sebagai sistem madrasah. Di kemudian hari, pembelajaran al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an ini dilengkapi dengan Madrasah Diniyyah pada tahun 1939, MTS dan SMP pada tahun 1970, SMA pada tahun 1992 yang kesemuanya masih dalam lingkup pesantren.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an al-Muayyad ini merupakan Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an tertua yang ada di Surakarta. Sudah ribuan alumni yang dihasilkan oleh Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an al-Muayyad ini.

4. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Al-Asy’ariyyah, Kelibeber, Wonosobo, Jawa Tengah.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Al-asy’ariyah ini sebenarnya termasuk Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an tertua di Indonesia. Pondok Pesantren Tahfidz al’Qur’an ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1832. Pendirinya adalah K.H Muntaha bin Nida’ Muhammad. K.H Muntaha mengasuh pesantren ini hingga tahun 1859. Pada tahun 1860, KH Muntaha bin Nida’ Muhammad dan digantikan oleh puteranya yang bernama KH. Abdurrochim bin KH. Muntaha. KH. Abdurrochim ini pandai sekali menulis al-Qur’an. Bahkan, saat berhaji, beliau menulis al-Qur’an dengan tangannya sendiri. Setibanya di kampung, 30 juz penulisan al-Qur’an telah rampung diselesaikannya.

Pada tahun 1916, KH Abdurrochim wafat dan kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putera beliau yang bernama KH Asy’ari. KH Asy’ari sendiri pernah nyantri di Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Krapyak Yogyakarta. Bahkan, KH. M Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Krapyak mengajak KH Asy’ari untuk mengikuti beliau menuntut ilmu di Makkah selama 17 tahun. Pada saat di Makkah, KH Asy’ari setiap hari mengkhatamkan al-Qur’an secara rutin.

Pada tahun 1949 M, KH Asy’ari wafat dan estafet kepemimpinan diteruskan oleh puternya yang bernama KH. Muntaha. KH Muntaha juga merupakan salah satu santri KH M Munawwir, Pendiri Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Krapyak Yogyakarta. Pada masa KH Muntaha inilah nama pesantren kemudian diubah menjadi Al-Asy’ariyah. Meski namanya berubah, tradisi Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an ini masih tetap sama, yakni sebagai pesantren penghafal al-Qur’an. KH Muntaha inilah yang membuat Al-Qur’an Akbar, yang terbesar di dunia. Al-Quran ini sekarang terseimpan di bait al-Qur’an TMII.

Hingga kini, Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Asy’ariyah ini masih menjadi salah satu pilihan favorit para santri untuk menghafalkan al-Qur’an. Tentu saja, mengingat umur pesantren ini yang sudah sangat tua, sudah tak terbilang lagi jumlah santrinya yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.

5. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Tahaffudzul Qur’an Semarang, Jawa Tengah

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Tahaffudzul Qur’an ini didirikan oleh K.H Abdullah Umar pada tahun 1971. Beliau adalah seorang hafidz al-Qur’an sejak umur 18 tahun dan masih keturunan dari Sunan Kudus. Pada awal berdirinya Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Tahaffudzul Qur’an ini, KH. Abdullah Umar hanya mampu menerima 17 orang karena keterbatasan tempat. Metode yang dipakainya adalah gabungan antara sorogan (secara individual) dan halaqah (secara kolektif). Semua santri awal ini tidak dipungut biaya alias gratis. Kebanyakan dari santrinya pada waktu itu memang kurang mampu.

Tidak butuh waktu lama, hanya sekitar setengah tahun saja, KH Abdullah sudah mewisuda beberapa penghafal dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan ada yang dari Brunei Darussalam dan Malaysia. Pada tahun 1973, Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Tahaffudzul Qur’an ini mulai menerima santri putri juga. Meski jumlahnya tidak melebihi jumlah santri putra.

Minat dan antusiame masyarakat untuk memondokkan anaknya di Pesantren Tahfidz al-Qur’an Tahaffudzul Qur’an pun kian hari kian meningkat. Sejak saat itu, mulai berdatangan lah para dari berbagai daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan hingga Mancanegara.

6. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an An-Nur, Ngrukem, Bantul, Yogyakarta

Pendiri Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an An-Nur ini adalah KH Nawawi Abdul Aziz, adalah menantu K.H M Munawwir Pendiri Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Krapyak Yogyakarta. Beliau merupakan santri dari KH R Abdul Qodir Munawwir, putera KH. M Munawwir.

Pada awalnya, ketika KH Nawawi Abdul Aziz dipercaya menjadi ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bantul, Yogyakarta pada tahun 1960, beliau merasa prihatin dengan kondisi keagamaan masyarakat sekitar. Lalu, mulailah beliau mengadakan pengajian-pengajian. Baik itu pengajian umum, klasikal, bandongan maupun sorogan. Pengajian umum diadakan setiap senin malam dan jumat pagi dan setiap subuh diadakan pengajian klasikal dan sorogan dengan materi al-Qur’an. Pada masa perintisan Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an An-Nur Ngrukem ini, hanya ada sekitar 7 santri yang tinggal di pesantren.

Secara resmi, Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an ini berdiri pada April 1978. Tidak butuh waktu lama, hanya butuh waktu 3 tahun, jumlah santri sudah mencapai 300an santri di mana 70 % nya merupakan penghafal al-Qur’an. Bahkan, saat ini Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an An-Nur Ngrukem sudah memiliki Sekolah Tinggi Ilmu Qur’an (STIQ) yang sudah berdiri sejak tahun 2004 lalu.

7. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran ini didirikan oleh KH Mufid Mas’ud. Beliau merupakan keturunan ke-14 dari Sunan Pandanaran. Sebagaimana KH Nawawi Abdul Aziz Pendiri Pesantren Tahfidz al-Qur’an An-Nur Ngrukem, beliau juga merupakan menantu KH M. Munawwir dan santri dari KH R Abdul Qodir Munawwir, putera KH. M. Munawwir.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran ini didirikan KH Mufid Mas’ud pada tanggal 20 Desember 1975 M yang bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1395 H di atas tanah wakaf seluas 2000 meter persegi. Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran ini diresmikan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII beserta bupati Sleman serta para tokoh agama dan masyarakat.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran memang dikenan sebagai Pondok Pesantren takhasus li tahfidzil Qur’an (Pondok Pesantren yang khusus untuk menghafalkan al-Qur’an). Sanad keilmuan al-Qur’an KH Mufid Mas’ud sendiri didapat dari tiga guru yakni, KH Abdul Qodir Munawwir (Putera KH. M Munawwir), KH Muntaha Wonosobo (Santri KH. M. Munawwir), dan KH Dimyati Comal, Pemalang, Jawa Tengah.

Hingga kini, Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran masih berdiri kokoh dengan ribuan santrinya yang terbagi ke dalam beberapa komplek asrama. Tentunya, sudah tidak terhitung lagi jumlah alumni Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Sunan Pandanaran yang telah mengkhatamkan hafalannya di Pondok Pesantren ini.

8. Pondok Pesantren Thafidz al-Qur’an Murottilil Qur’an, Lirboyo, Kediri

Pondok pesantren Lirboyo memang terkenal sebagai pondok pesantren salaf yang sudah menelorkan banyak kyai-kyai besar di Indonesia. Meski demikian, Pondok Pesantren Lirboyo sendiri mempunyai Lembaga pendidikan khusus untuk penghafal al-Qur’an.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an tidak bisa dilepaskan dari KH Maftuh Basthul Birri. Beliau awalnya mendirikan Madrasan Murottilil Qur’an (MMQ) pada tahun 1977 M/1397 H. Pengajian saat itu menggunakan sistem sorogan yang langsung diampu oleh KH Maftuh basthul Birri. Namun, karena semakin membludaknya santri, maka pada kisaran tahun 1980, Pondok Pesantren Lirboyo mendirikan lembaga pendidikan khusus yang membidangi al-Qur’an.

Kian hari, santri di Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an semakin membluak lebih banyak lagi. Akhirnya, mau tidak mau, dibuatlah sistem bertingkat. Ada lima tingkatan dalam Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an ini.

Pertama adalah tingkatan I’dadiyah. Tingkatan ini ditempuh dalam waktu cuma setengah tahun. Materi dalam tingkatan ini adalah Buku Tururan A, Ba, Ta. Di tingkatan ini, santri mulai mempelajari membaca surat. Mulai dari Surat Al’A’la hingga An-Nas. Tingkatan kedua adalah tingkat Ibtidaiyah. Waktu yang ditempuh dalam tingkat ini juga setengah tahun. Di tingkatan ini, para santri akan mulai menghafalkan surat, dari surat Al’A’la hingga An-Nas. Tingkat ketiga adalah tingkat Tsanawiyah. Tingkatan ini juga ditempuh dalam waktu setengah tahun. Materi dalam tingkatan ini adalah tajwid menggunakan kitab Fathul Manan, Manaqibul Auliya’il Khomsin. 

Di tingkatan ini, para santri juga mulai mempelajari dan menghafal surat dari surat Al-A’la hingga An-Nas, Surat Al-Waqi’ah, Surat Yasin serta bacaaan-bacaan Ghorib. Tingkat keempat adalah tingkat Aliyah. Dalam tingkatan ini, waktu yang dibutuhkan adalah satu tahun setengah. Materinya mulai dari Rosm Utsmany, Sorogan al-Qur;an dari Juz 1 hingga juz 30 serta menghafalkan qishoris suwar. Lalu, di tingkat terakhir, tingkat kelima yakni tingkat Sab’atul Qiroat. Waktu yang ditempuh dalam tingkat ini kurang lebih dua bulan. Tingkat ini hanya diperuntukkan bagi para santri yang telah menghafal serta menyetorkan hafalan 30 Juz al-Qur’an, sudah menghafal juz 30, surat pendek seperti al-Mulk, Ad-Dukhon, Yasin, As-Sajdah, Al-Waqi’ah, al-Kahfi serta sudah terdaftar sebagai peserta Khotmil Qur’an.

Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an, pada tahun 2002 lalu, telah meresmikan cabangnya di Batam. Meski sangat minim, pada tahun itu, setidaknya sudah ada 600an santri yang terdaftar dengan tingkatan yang sama seperti di Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an Pusat yang ada di Lirboyo, Kediri. Saat ini, santri Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an cabagn Batam ini saja sudah mencapai 4000an santri. Belum terhitung yang di Pondok Pesantren Tahfidz al-Qur’an Murottilil Qur’an Pusat yang ada di Lirboyo, Kediri.


9. Pondok Pesantren Nashuhiyyah Gunungjati Cirebon Jawa Barat

Pondok Pesantren Nashuhiyyah adalah salah satu institusi pendidikan berbasis agama di blok Alas Konda desa Jatimerta kab Cirebon Jawa Barat yang telah berdiri sejak tahun 1991 M. Alas dalam bahasa Indonesia berarti hutan, sedangkan Kondo berarti berbincang. Menurut cerita orang orang tua dahulu, Alas Kondo ini menjadi tempat ‘kondo-kondo’nya para wali songo atau tempat berbincang-bincang dan musyawarahnya wali songo dalam rangka dakwah Islamiyyah di wilayah Cirebon dan sekitarnya, dan juga menjadi tempat mengaji dan tempat untuk menuntut ilmu santri pada masa itu.

Dari sejarah tersebut, almarhum KH Agus Nashuha bercita cita ingin menjadikan Alas Kondo ini tempat yang bermanfaat, tempat untuk mengaji dan menuntut ilmu melanjutkan jejak para wali. Alhamdulillah, dengan izin Allah, cita cita almarhum dapat diwujudkan oleh KH Mufawwidl hingga beliau wafat tahun 2015 M. Kemudian estafet pimpinan pondok pesantren ini dilanjutkan oleh Nyai Hj. Masruroh (istri KH Mufawwidl) dan dibantu putra-putrinya hingga sekarang.

Pondok pesantren Nashuhiyyah memiliki program unggulan dalam bidang tahsin dan tahfidz Al Qur'an 30 juz bersanad dengan qiroah riwayat Imam Hafs ‘an Imam ‘Ashim serta pendalaman Al-'ulum Al-syar'iyyah melalui kitab-kitab turots yang masyhur dengan istilah kitab kuning meliputi Nahwu, Shorof, Tauhid, Hadits, Tafsir, Tarikh, Akhlak, Tajwid.

Diharapkan dengan pola pendidikan seperti ini, santri tidak hanya menguasai hafalan al-Qur’an melainkan juga menguasai ilmu-ilmu syariah lainnya. Sehingga santri kelak memiliki kesiapan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Inilah 9 Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Terbaik di Indonesia yang sudah berhasil menelurkan alumni-alumni yang bertebaran di masyarakat dengan segudang prestasi. Mudah-mudahan bermanfaat. 

Share on Google Plus

About admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar